Mei 2019
Facebook sudah cukup serius untuk mengatasi masalah keamanan dan privasi pada platformnya. Namun hingga saat ini, masih ada saja grup yang gentayangan dan berpotensi untuk membahayakan para pengguna Facebook.

Mengutip dari TheVerge (03/05/19), salah satu lembaga keamanan, Cisco cybersecurity, khususnya divisi Talos, baru-baru ini menemukan bahwa ada puluhan grup pembobol keamanan yang sudah dinonaktifkan, namun tetap berpotensi untuk membahayakan para pengguna Facebook.

Cisco cybersecurity mencatat setidaknya ada 74 grup berbahaya yang memiliki total anggota sekitar 385.000. Tak cuma soal peretasan platform Facebook, para anggota dari grup tersebut terkadang melakukan beberapa tindakan kriminal lainnya, seperti mengiklankan nomor kartu kredit curian dan memposting kartu SIM si korban.

Tak cuma sebatas itu, anggota grup tersebut pun terkadang memposting jasa untuk mendapatkan akses ke sebuah jaringan komputer pada perusahaan tertentu dengan imbalan sejumlah uang yang cukup besar.
Dengan adanya banyak kasus seperti itu, Facebook pun tak tinggal diam. Kabarnya, mereka kini mulai melakukan ‘pembersihan’ kembali terhadap grup-grup yang berpotensi membahayakan penggunanya.

“Grup-grup yang melanggar kebijakan kami, seperti spam maupun penipuan secara finansial, kami sudah membuangnya. Kami tahu, kami harus lebih waspada dan akan melakukan investigasi lebih dalam untuk memerangi ini secara serius”, kata juru bicara Facebook.
Konten negatif masih terus bermunculan di dunia maya hingga saat ini. Mulai dari pornografi, hoax dan lainnya. Baik di media sosial, pesan instan, internet dan lainnya sering dijumpai konten negatif tersebut. Terlebih memasuki Pilkada di tahun 2018 ini, tentunya konten hoax di jejaring sosial dan internet kerap terjadi.

Sejumlah platform sosial media sudah melakukan berbagai cara untuk mengatasi konten negatif tersebut. Facebok salah satunya. Meningat sejauh ini, Facebook merupakan bagian penting di Indonesia dengan jumlah pengguna Facebook di Indonesia mencapai 115 juta. Belum lama ini, Facebook bekerjasama dengan YCAB Foundation dan Do Something Indonesia mengedukasi para pengguna sosial media untuk melahirkan konten positif.

Kegiatan ini ditandai dengan sejumlah edukasi dan pelatihan di kurang lebih 100 Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta yang diikuti oleh sekitar 11 ribu siswa. Disamping itu, diselenggarakan pula kampanye online bertajuk Think Before You Share Campaign Day Out.
“Kami berharap melalui campaign Think Before You Share, Facebook bisa menjadi sosial media yang aman terbebas dari konten negatif. Kegiatan ini juga sangat bermanfaat bagi generasi milenial dalam membedakan mana konten positif dan konten negatif,” Clair Deevy, Head of Community Affairs APAC Facebook menjelaskan kepada Technologue.id di bilangan Menteng, Jakarta, Selasa (27/02/2018).

Clair menambahkan peran serta orang tua dan guru sangat dibutuhkan dalam mengedukasi para generasi muda dalam menggunakan Facebook dan Instagram.

“Untuk posting di Facebook perlu komunikasi dua arah antara orang tua dengan murid serta orang tua dan anak. Dengan begitu, para generasi milenial dapat mengenali berita hoax atau konten negatif lainnya, imbuh Clair.

Clair lanjut menambahkan Facebook sendiri sudah memiliki tools dalam platformnya yang dapat memfilter konten negatif.

“Facebook sudah memiliki tools yang dapat mentracking segala konten negatif. Ada teknologi pelacak DNA dan teknologi AI untuk memfilter konten negatif. Kedua ini dapat mendeteksi segala konten negatif dengan mengidentifikasi para pengguna Facebook yang menyebar konten negatif tersebut melalui foto, profil dan lainnya,” tegas Clair.

Menunjukan kepedulian terhadap konten negatif, Facebook bekerjasama dengan sejumlah instansi pemerintah. Facebook  juga bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Inisiatif Gerakan Nasional Literasi Digital dalam rangka perayaan bulan internet sehat. Aktifitas ini ditandai dengan menyelenggarakan pelatihan untuk mempromosikan kewarganegaraan digital yang bertanggung jawab diantara institusi pemerintahan.
“Sosial media sangat berpengaruh untuk semua aspek. Dalam penggunaanya sang pengguna harus benar-benar paham dengan segala aturannya. Kalau salah menggunakannya bisa terkena UU ITE. Untuk itu Kominfo bekerjsasama dengan Facebook untuk mengedukasi para pengguna Facebook agar terus memposting konten positif. Baru-baru ini Kominfo dapat penghargaan dari PBB atas 3 program internet sehat,” tutup Donny Budi Utomo selaku perwakilan dari Kominfo.
Jakarta – Salah satu media sosial terbesar, Facebook sudah cukup lama membuka ‘jalan’ untuk para developer atau pengembang aplikasi untuk mengakses sebagian komponennya agar bisa mengintegrasikan sebuah aplikasi yang dibuatnya dengan fitur-fitur yang dimiliki oleh Facebook. Namun sayangnya, hal tersebut secara tidak langsung malah membocorkan sebagian besar data pengguna Facebook di seluruh dunia.


Mengutip dari TheVerge (03/04/19), para pengembang aplikasi dilaporkan meninggalkan ratusan juta catatan yang beberapanya adalah data pribadi dari para pemilik akun Facebook. Catatan-catatan tersebut dipublikasikan melalui server cloud dan ditemukan oleh sebuah lembaga keamanan siber, UpGuard.
Para peneliti dari UpGuard mengatakan bahwa setidaknya ada dua data set berukuran besar yang bocor. Dan salah satu di antaranya ditemukan pada sebuah perusahaan media asal Mexico, Cultura Colectiva. Data set yang berukuran 146 GB tersebut pun berisi 540 juta data tentang aktivitas pengguna Facebook, seperti nama akun, ID, dan lain-lain.

Sedangkan data set lainnya yang bocor adalah milik sebuah aplikasi bernama “At the Pool”. Data set tersebut berisi 22.000 password pengguna yang biasanya login ke Facebook melalui aplikasi itu (tidak langsung login melalui website atau aplikasi Facebook).
Untungnya Facebook cukup sigap menanggapi kebocoran data penggunanya. Setelah menerima laporan dari UpGuard, data set yang terpublikasi melalui cloud server milik Amazon tersebut segera dibuang oleh pihak Facebook. Namun hingga saat ini, tidak jelas berapa lama data set itu bertahan di server Amazon dan siapa saja yang sudah sempat menduplikasikannya.
Jakarta – Diakui memang untuk membuat sebuah akun Facebook baru bukanlah perkara yang sulit untuk dilakukan. Hal ini salah satu penyebab banyaknya beredar akun-akun anonim atau bisa disebut juga sebagai akun palsu. Pertanyaannya adalah berapa banyak sebenarnya akun-akun palsu yang beredar di sosial media buatan Mark Zuckerberg ini?

Baru-baru ini Facebook baru saja merilis laporan tahunan mereka. Seperti dilansir dari Ubergizmo.com (06/02/2018), ternyata akun palsu atau duplikat yang beredar mencapai 10% dari total pengguna bulanan yang aktif!

“Pada kuartal keempat tahun 2017, kami memperkirakan bahwa akun duplikat mungkin mewakili sekitar 10 persen pengguna aktif bulanan kami di seluruh dunia. Kami yakin presentase akun duplikat ini berasal dari pasar berkembang seperti India, Indonesia, dan Filipina, dibandingkan dengan pasar yang lebih maju,” tulis Facebook.


Jika pernyataan Facebook benar mengenai pengguna aktif bulanan mereka yang mencapai 2,3 miliar, berarti terdapat akun palsu atau duplikat dengan jumlah kurang lebih mencapai 200 juta akun. Perlu digaris bawahi, tidak semua orang membuat akun duplikat ini dengan tujuan yang negatif.

Ada kemungkinan jumlah akun palsu tersebut bisa lebih tinggi dari laporan yang dibuat Facebook. Pasalnya sangat sulit untuk mendeteksi apakah akun  tersebut memang akun palsu atau bukan. Jadi diantara 200 juta akun palsu tersebut, apakah salah satunya milik Anda?
Mendengarkan musik sambil beraktivitas merupakan hal yang lumrah sekarang ini. Bahkan, membawa smartphone ke dalam kamar mandi untuk kemudian memutar lagu dengan volume agak keras atau bermain sosial media sambil buang air sudah tidak mengejutkan lagi.

Namun sayangnya, masih banyak yang belum menyadari bahaya dari ketergantungan akan smartphone dan tidak bisa pisah barang sedetik saja. Contohnya Senin (10/07/17) kemarin, seorang gadis asal Lovington, New Mexico, Amerika Serikat, ditemukan tewas tersetrum smartphone saat sedang mandi.
Sang korban, Madison Coe, yang masih berusia 14 tahun itu ditemukan tewas di dalam bathub di kamar mandi ayahnya dengan luka bakar di tangannya. Luka bakar tersebut diyakini tim penyidik forensik setempat sebagai pemicu meninggalnya Madison.

Setelah meneliti tempat kejadian perkara, mereka menyimpulkan ada dua skenario yang memungkinkan mengapa Madison bisa tewas tersengat listrik. Ia diduga memasang charger smartphonenya ke stop kontak dalam keadaan tangan yang basah, atau ia terpaksa mengambil smartphonenya yang sudah dalam kondisi ter-charge dengan tangan yang juga dalam keadaan basah.

Mengutip PhoneArena (11/07/17), terlepas dari dugaan skenario yang masih didiskusikan, Madison dipastikan meninggal karena tubuhnya yang basah saat mandi menjadi perantara yang sangat baik untuk pertemuan antara listrik dan air. Jadi untuk keamanan bersama, pastikan Anda tak sedang berada di dekat aliran listrik saat sedang berada di kamar mandi, ya!
Berita palsu alias berita hoax jadi momok bagi berbagai pihak. Pemerintah sampai dengan perusahaan teknologi raksasa seperti Facebook dan Google ikut kebagian pusing akibat banyaknya berita hoax yang beredar dan mudah menyebar di masyarakat.

Penyebaran informasi hoax yang dapat dilakukan dengan mudah melalui sosial media maupun layanan pesan instan ditengarai membuat distribusi kabar palsu semakin sulit ditekan.
“Secara pandangan, standar hoax itu masih sangat subjektif. Pandangan saya dengan teman saya belum tentu sama, itu yang kemudian membuat saringan informasi hoax itu masih sulit dilakukan,” kata Donny Koesmandarin, Territory Channel Manager Kaspersky Indonesia.

Hal senada diungkap Fetra Syahbana, Country Manager Indonesia F5 Networks saat ditemui Technologue.id di Jakarta. Menurut Fetra belum ada standar baku yang objektif terkait informasi hoax yang beredar secara umum di tengah masyarakat.


“Kesulitan buat kita untuk menyaring berita hoax memang belum ada standar baku apakah berita itu asli atau palsu. Berbeda dengan konten mengandung pornografi maupun kekerasan, kita bisa dengan mudah menentukan itu boleh atau tidak boleh disebar karena standarnya sudah tetap,” jelas Fetra.

Hal tersebut diklaim Kaspersky maupun F5 Network yang membuat para penyedia layanan keamanan belum bisa berbuat banyak untuk menyediakan produk yang mampu membendung membanjirnya berita palsu.
“Secara sistem masih belum bisa dibuat untuk menangkal informasi hoax karena kendala standar tersebut. Sementara ini, yang bisa dilakukan itu penerima informasinya yang dibuat lebih cerdas supaya bisa menyaring informasi palsu dan fakta secara manual,” tandas Fetra.
Sudah bukan rahasia lagi jika Facebook memiliki efek samping berupa rasa candu pada penggunanya. Pengguna yang sudah begitu kecanduan dengan sosial media buatan Mark Zuckerberg ini pun bisa saja menghabiskan begitu banyak waktu untuk memainkannya.


Untuk mengatasi problem satu ini, Facebook menyiapkan sebuah fitur baru yang disebut “Your Time on Facebook”.
Dilansir dari Ubergizmo.com (25/06/2018), fitur ini nantinya akan memiliki kemampuan untuk memberi pengingat pada pengguna mengenai waktu rata-rata yang mereka habiskan di Facebook selama kurun waktu seminggu terakhir.
Selanjutnya fitur ini akan menawarkan opsi menajemen waktu yang memungkinkan pengguna mengatur pengingat dari batas waktu harian mereka bermain Facebook. Selain itu pengguna juga dapat memfilter notifikasi apa saja yang ingin mereka terima dari Facebook.

Fitur ini sebelumnya ditemukan oleh seorang engineer bernama Jane Manchung Wong. Ia membagikan sejumlah screenshot yang memperlihatkan penggunaan dari fitur “Your Time on Facebook.”
Facebook sendiri telah mengkonfirmasi kehadiran fitur ini. Sayangnya, mereka belum memastikan kapan tepatnya fitur ini akan dapat dinikmati oleh pengguna. Diharapkan dengan hadirnya fitur baru ini bisa membantu mengurangi ketergantungan netizen ke media sosial tersebut.
Pada dasarnya, manusia ingin selalu tampil keren. Memang terdengar mudah, tetapi bagi sebagian orang keinginan untuk tampil bagus menjadi sebuah beban tersendiri.


Contoh paling sederhana adalah memikirkan apa yang akan kita pakai setiap hari. Hal ini umumnya cukup sering dialami di kalangan perempuan.

Personal stylist bisa saja menjadi jawaban, akan tetapi kita tahu bahwa personal stylist bukan menjadi sebuah layanan terjangkau bagi segmen pasar menengah hingga ke bawah.

Lalu opsi yang dapat kita tawarkan? Teknologi. Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan sebuah layanan fashion yang lebih personal.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, Founder dan CEO Yuna + Co Winzendy Tedja berbagi pengalaman tentang pemanfaatan AI dalam menghadirkan aplikasi fashion matchmaking berbasis preferensi pengguna.

Scale up dengan teknologi AI

Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang fashion, pria yang karib disapa Zendy ini mengungkap tentang pentingnya mempelajari gaya dan preferensi pengguna untuk bisa scale up.

Menurutnya platform perlu untuk mempelajari bagaimana kebiasaan dan preferensi pengguna agar seluruh informasi tersebut dapat diolah menjadi sebuah rekomendasi kepada mereka saat berbelanja.

“Sekarang adalah era di mana pengguna ingin memiliki pengalaman yang lebih personal. Lalu, bagaimana mau scale up dengan personalisasi? Personalisasi itu kan harus one-to-one. Nah, di sini AI berperan sebagai tool,” ungkap Zendy.

Diakuinya, pengguna harus mengeluarkan effort dalam memberikan informasi seputar gaya dan preferensi fashion yang disukai. Namun, begitu pengguna telah mengalami pengalaman yang personal, mereka akan terus lanjut.

Kumpulan data untuk ciptakan analisis prediktif

“The thing about fashion, brands want to own their data. Berbeda dengan industri musik atau film. Kita tidak akan tahu produk apa yang paling laris di H&M, misalnya,” kata Zendy.

Dalam hal ini, AI dapat mengambil peran lebih dalam mengolah kumpulan data (dataset) menjadi sebuah analisis yang prediktif. Di perusahaannya, data prediksi ini juga yang ia tawarkan kepada brand-brand yang menjadi mitranya.

“Semakin banyak pelanggan dan produk yang masuk ke dalam learning system kita, akan semakin banyak pula insight yang kita dapat. Kita bisa kasih rekomendasi ke brand, misal dari sisi bahan atau warna yang disukai pengguna,” ujar Zendy.

Manusia tetap punya peran

Meski teknologi ada untuk mempermudah proses kerja, bukan berarti manusia tak lagi dibutuhkan. Apalagi preferensi dan tren fashion seseorang kerap berubah-ubah.

Hal juga dapat menjadi tantangan dalam menghasilkan rekomendasi yang berguna bagi pelanggan. Akan tetapi, Zendy menyebutkan bahwa kecerdasan buatan akan terus berjalan dalam mengumpulkan dan mengolah jutaan data.

Di sisi lain, stylist juga akan tetap dibutuhkan dalam mengkurasi berbagai macam informasi. Menurutnya, tidak semua hal dapat terbantu dengan teknologi. Justru, teknologi berperan sebagai enabler.

“Ada hal-hal di mana kita perlu manusia untuk memutuskannya, dan tidak bisa mengandalkan kecerdasan buatan. When it comes to taste, we still needs human.” tutur Zendy.
Roadmap e-commerce segera rampung pada tahun ini, setelah dirancang pada 2014 lalu dan disahkan pada 2017. Pemerintah juga tengah menyusun tiga draf aturan lainnya terkait ekonomi digital.

“Saat ini sudah tahap finalisasi di Sekretariat Negara. Ada beberapa aturan lain masih dalam proses seperti soal data yang sedang dibahas di DPR,” terang Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewairausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan UKM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rudy Salahuddin, kemarin (12/2).

Ia mengatakan, Peraturan Presiden (Perpres) e-commerce yang sudah lama diinisiasi ini memuat banyak poin yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu ada beberapa yang tidak diselesaikan, namun ada juga yang ditambahkan seperti perlindungan data, transaksi lintas batas, barang dan jasa digital, dan penguatan daya saing produk lokal.

Terkait data, pemerintah selama ini mengalami kesulitan dalam mengumpulkan data. Padahal data adalah komponen penting dalam merumuskan suatu kebijakan. Badan Pusat Statistik (BPS) pun diminta untuk mengumpulkan data dari para e-commerce, hanya saja terjadi resistensi karena mekanismenya yang membingungkan pelaku usaha.

Pemerintah akan melakukan sinergi antar Kementerian/Lembaga (K/L) agar data e-commerce dikeluarkan secara satu pintu. Pemain e-commerce pun tidak akan dipusingkan dengan permintaan data dari setiap K/L.

“Belajar dari situ, pemerintah mau buat sistem pengumpulan yang lebih terintegrasi. Karena banyak pemerintah yang minta data, nanti akan rumit, itu yang mau kita coba hindari. Kita akan buat pusat data terintegrasi agar lebih baik lagi pengumpulan datanya.”

Rudy juga menyampaikan, dengan rampungnya roadmap e-commerce ini bakal diikuti dengan Strategi Nasional Ekonomi Digital sebagai luarannya. Cara ini dibutuhkan agar Indonesia bisa menjadi hube-commerce di Asia Tenggara. Dalam Strategi Nasional ini, mengatur keseluruhan mulai dari perpajakan, logistik, cross border, pengembangan talenta, perlindungan data dan lainnya.

“Negara kita belum pernah ada strategi ekonomi digital secara nasional. Harus kita selesaikan tahun ini sebagai bentuk luaran Perpres.”

Berdasarkan laporan Hinrich Foundation, perdagangan digital Indonesia dapat menciptakan peluang ekonomi sebesar Rp2.305 triliun pada 2030. Angka ini tumbuh hingga 18 kali lipat dari Rp125 triliun di 2017.

Adapun untuk ekspor digital baru menyumbang satu persen dari jumlah nilai ekspor saat ini. Padahal ekspor digital berpotensi dapat meningkat hingga 768 persen dari level saat ini Rp240 triliun pada 2030 mendatang.
Dilihat dari geliat bisnis –meliputi nilai pangsa pasar dan putaran investasi—ada beberapa sektor digital yang tumbuh signifikan di Indonesia. Salah satunya merujuk pada hasil riset Google dan Temasek tahun ini, empat sektor utama yang mendominasi adalah e-commerce, online travel, online media, dan ride-hailing. Selain empat di atas sektor lain juga turut bertumbuh, salah satu yang menggeliat adalah fintech.

Pada tulisan ini, kami coba menghadirkan gambaran persaingan terkini industri digital yang sedang memanas dan menjadi sorotan di Indonesia. Terdiri dari bisnis ride-hailing, fintech, e-commerce, dan online travel. Masing-masing telah diisi oleh pemain besar dengan basis pengguna dan dukungan pendanaan yang sangat besar juga.

Ride-hailing masih tentang Go-Jek vs Grab

Berbicara tentang persaingan ride-hailing di Indonesia, maka masih mengerucut pada dua unicorn Go-Jek dan Grab. Keduanya terus mendominasi pangsa pasar dengan porsi yang berbeda. Sejauh ini dari sisi kelengkapan, aplikasi Go-Jek jauh lebih unggul karena menawarkan varian yang lebih banyak.

Namun dari total statistik unduhan di Play Store, angka Grab lebih banyak –karena hanya menggunakan satu aplikasi di seluruh wilayah operasional, sementara Go-Jek memisahkannya; seperti di Vietnam menggunakan Go-Viet atau bahkan layanan sekunder dengan Go-Life.

Go-Jek dan Grab masih terus bersaing menjadi yang terbaik

Di sisi lain, fitur e-wallet menjadi salah satu model bisnis layanan. Go-Jek bermanuver sendiri melalui Go-Pay, sementara Grab masih bergantung pada pihak lain, dalam hal ini Ovo dari Lippo Group. Untuk perluasan bisnis keduanya juga sama-sama memiliki unit investasi, merangkul pemain lain memperkuat ekosistem layanan –ada Go-Ventures dan Grab Ventures.

Mapan, Promogo, Findaya, Dana Cita dll adalah startup digital yang kini bermitra strategis dengan Go-Jek, dijalin melalui pendanaan dan/atau akuisisi. Kudo, HappyFresh, StickEarn, Karta dan beberapa pemain lainnya ada di sudut Grab. Dari sepak terjang yang ada, keduanya seakan-akan mengarah pada satu titik yang sama dalam kaitannya dengan tujuan bisnis.

Tahun ini nilai pangsa pasar ride-hailing di Indonesia diperkirakan mencapai $3,7 miliar. Angka tersebut diproyeksikan akan terus meningkat hingga menyentuh minimal $14 miliar di tahun 2025 mendatang. Sehingga babak demi babak persaingan masih akan sangat menarik disaksikan dari kedua startup besar tersebut.

Fintech tumbuh pesat, e-money miliki potensi terbesar

Di Indonesia ada dua sub-sektor fintech yang terlihat tumbuh subur, yakni lending dan e-money. Dari sisi jumlah pemain, fintech lending jauh lebih banyak, pun yang sudah berizin dari regulator. Sementara e-money cenderung lebih sedikit dan didominasi oleh pemain besar.

Ada alasan yang sangat mendasar mengapa e-money akan menjadi sub-sektor fintech yang paling berpotensi. Seperti layaknya uang di dompet, saldo e-money didesain untuk membantu pengguna bertransaksi kebutuhan sehari-hari.

Tak ayal kini pemain e-money makin gencar melakukan akuisisi pengguna dengan memperluas ekosistem layanan. Di Indonesia ada beberapa layanan populer untuk e-money, mulai dari Dana, Go-Pay, Paytren, Tcash dan lain-lain. Namun yang paling mendominasi pemberitaan akhir-akhir ini ada tiga layanan, yakni Dana, Go-Pay, dan OVO.

Dominasi pemberitaan tak lain terkait upaya perluasan integrasi layanan. Kini ketiga layanan populer tersebut sudah terintegrasi dengan platform berpopulasi pengguna besar. Dari survei yang dilakukan oleh DailySocial melibatkan 825 pengguna layanan, secara peringkat pengguna Go-Pay berada di urutan pertama, disusul oleh OVO, Tcash, dan Dana.

E-money di Indonesia

Layanan e-money terus perluas integrasi layanan untuk perkaya ekosistem
Pasca integrasi yang dilakukan besar-besaran tahun ini, artinya genderang persaingan baru saja dimulai. Beberapa pemain memang sudah terlihat meredup – misalnya PayPro yang akhirnya mencoba keberuntungan di ritel kecil tradisional.

Beberapa pemain baru juga bermunculan ditandai dengan rilis lisensi penyelenggara e-money oleh Bank Indonesia. Sebut saja BluePay, Duwit, hingga E2Pay yang segera memantapkan debutnya.

Sektor travel lengang namun menjanjikan

Menurut data Google dan Temasek, saat ini sektor online travel memiliki pangsa pasar yang paling besar di Asia Tenggara, yakni $30 miliar. Di Indonesia sendiri tahun ini diperkirakan akan menyumbang perputaran uang mencapai $8,6 miliar, dan diproyeksikan akan mencapai $25 miliar di tahun 2025 mendatang. Pemain di online travel sebenarnya juga banyak, sebut saja Airy, Pegipegi, Tiket.com, Traveloka, dan lain-lain.

Jika ditarik pemain dengan peringkat teratas, maka merujuk pada dua pemain besar – kebetulan keduanya didirikan pengembang lokal – yakni Tiket.com dan Traveloka. Pasca exit, Tiket.com saat ini berada dalam naungan Djarum Group melalui unit usaha Blibli. Sementara Traveloka masuk dalam jajaran unicorn di Indonesia dengan valuasi saat ini diperkirakan melebihi $2 miliar.

Traveloka pimpin bisnis OTA di Indonesia

Tampaknya modal besar membuat akuisisi pengguna oleh Traveloka cukup berhasil –diimbangi dengan inovasi layanan yang terus digencarkan. Secara statistik Traveloka saat ini masih mengungguli Tiket.com, kendati dari sisi varian layanan keduanya hampir memiliki kesamaan. Di sudut inovasi Traveloka juga banyak meluncurkan gebrakan, misalnya fitur PayLater melalui TravelokaPay bermitra dengan layanan pinjaman Danamas.

Secara khusus DailySocial juga pernah merilis laporan bertajuk “Online Travel Agencies Survey 2018”. Hasil survei menempatkan urutan layanan paling populer ada Traveloka, Tiket.com, Pegipegi, Airy, Blibli, Jd.id, Nusatrip dll. Besarnya pangsa pasar online travel membuat e-commerce juga berbondong-bondong menyajikan layanan penjualan tiket pesawat dan hotel. Beberapa e-commerce bekerja sama dengan pengembang OTA, sisanya mendesain sistem secara mandiri.


E-commerce di Indonesia bergerak dinamis

Sektor digital yang paling ramai sejak beberapa tahun terakhir, pun dengan pertumbuhannya terlihat paling mengesankan. Jika dikemas dalam anekdot, perjalanan digital society di Indonesia dimulai dari penggunaan media sosial, lalu e-commerce, baru ke layanan lainnya.

Saat ini lanskap e-commerce di Indonesia didominasi empat pemain besar, yakni Bukalapak, Lazada, Shopee dan Tokopedia. Pembeda antara e-commerce dan online marketplace pun semakin melebur.

Sementara itu di luar empat pemain tersebut masih banyak platform lain yang juga terus memperkuat keberadaannya, sebut saja Blibli, Bhinneka, Mataharimall dll. Pemain dengan segmen khusus seperti Sale Stock, Hijub, Berrybenka dll juga masih memiliki pangsa pasar. Belum lagi yang di segmen khusus B2B, ada Bizzy, Mbiz dll.

Beberapa penelitian menyebutkan, bahwa e-commerce akan menjadi bisnis digital paling berpengaruh dalam beberapa tahun mendatang. Per tahun 2018, nilai pangsa pasar e-commerce di Indonesia sudah mencapai $18 miliar, terbesar di regional.

Menjelang akhir tahun, di tengah hajatan akbar e-commerce beberapa lembaga survei merilis laporan terkait popularitas layanan e-commerce. Salah satunya MarkPlus, mereka mengatakan bahwa saat ini Shopee berada di urutan pertama, bersaing ketat dengan Tokopedia. Sebelumnya di kuartal kedua DailySocial juga pernah melakukan survei popularitas layanan e-commerce, menempatkan Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak di urutan teratas.

Empat layanan e-commerce unggulan terus bersaing ketat

Persaingan belum usai sampai di sini. Masing-masing pengembang platform terus memaksimalkan berbagai strategi untuk memperkuat kehadirannya di pangsa pasar. Strateginya juga memiliki pendekatan berbeda antar pemain.

Misalnya Bukalapak memilih memaksimalkan biaya iklan – per kuartal ketiga tahun 2018, Bukalapak menjadi startup yang paling banyak beriklan. Beda lagi dengan Shopee yang mencoba memperkuat branding dengan menggaet tokoh terkenal Asia dan mengadakan pagelaran besar.
Guna memaksimalkan dan meningkatkan ekonomi digital, negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk membentuk kerangka kerja sama dalam bentuk skema e-commerce. Kesepakatan ini disebut akan memfasilitasi transaksi e-commerce lintas batas dan diharapkan mendorong negara anggota mempromosikan paperless transactions.

“Perjanjian ini akan membantu meningkatkan keyakinan dan kepercayaan di kalangan konsumen ASEAN dalam e-commerce. Kami akan memungkinkan bisnis-bisnis ASEAN tumbuh di dalam negeri, regional dan global,” terang Menteri Perdagangan dan Industri Singapura, Chan Chun Sing.

Kesepakatan ini dirumuskan dengan tiga tujuan, yakni untuk memfasilitasi transaksi e-commerce lintas batas, untuk menciptakan kepercayaan dan keyakinan dalam penggunaan e-commerce, dan memperdalam kerja sama di antara negara-negara anggota ASEAN dalam mengembangkan dan mengintensifkan penggunaan e-commerce.

Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh para Menteri Perdagangan ASEAN, termasuk Menteri Perdagangan Indonesia Enggarsito Lukita. Penandatanganan berlangsung di tengah KTT ke 33 ASEAN Summit yang berlangsung di Singapura.

Memudahkan akselerasi bisnis e-commerce

Kesepakatan tersebut bisa jadi langkah selanjutnya bagi industri e-commerce Asia Tenggara untuk masuk ke tahap selanjutnya. Dalam beberapa tahun terakhir mungkin industri e-commerce di Asia Tenggara berkembang, tapi masih tertinggal dengan industri e-commerce di Tiongkok maupun Amerika. Ada beberapa hambatan yang coba diselesaikan dengan kesepakatan yang dijalin.

Transaksi e-commerce lintas batas ada di salah satu tujuan kesepakatan ini. Dengan menghilangkan batasan-batasan regional bukan tidak mungkin pemain e-commerce lokal dan UMKM di Indonesia bisa lebih mudah mendapat konsumen dari luar negeri, demikian pula dari negara-negara lainnya.

Poin kesepakatan yang bisa berdampak positif bagi industri e-commerce lokal lainnya adalah kesepakatan untuk mendorong transaksi paperless untuk mempercepat transaksi dan juga perlindungan data pribadi konsumen yang lebih baik.

Kesepakatan ini memiliki semangat yang sama dengan roadmape-commerce di Indonesia. Poin-poin penting seperti kemudahan transaksi, perlindungan data dan konsumen, infrastruktur dan lain-lain terlihat di keduanya. Harapannya jika seluruh negara ASEAN sepakat untuk berkolaborasi mempermudah industri e-commerce di Asia Tenggara tidak hanya pemain e-commerce yang berdampak tetapi juga bisnis UMKM yang bisa lebih berkembang.
Pengalaman konsumen yang seamless merupakan salah satu alasan mengapa kegiatan pemasaran omni channel saat ini sangat relevan dilakukan. Proses omni channel mulai dari penawaran iklan produk, proses pencarian informasi pelanggan di channel online dan offline, dan pada akhirnya keputusan pelanggan tersebut untuk membeli.

Skema online-to-offline (O2O) saat ini sudah banyak diterapkan marketplace, layanan e-commerce, atau startup adtech. Mengetahui dengan benar bagaimana perjalanan konsumen mendapatkan informasi hingga mendapatkan produk yang diinginkan menjadi proses yang penting.

Memahami cara kerja omni channel

Dalam definisinya, omni channel bisa diartikan sebagai proses atau pengalaman pelanggan yang bisa menggunakan lebih dari satu channel penjualan seperti toko fisik, e-commerce/internet, mobile (m-commerce), social commerce, dan lainnya untuk melakukan riset, membeli, mendapatkan, dan mengembalikan atau menukar barang yang dibeli. Kegiatan ini semakin banyak dilakukan saat ini, ketika penetrasi internet dan smartphone makin meningkat, ditambah dengan maraknya layanan e-commerce yang memberikan pilihan tersebut.

Menurut AVP O2O Business Bukalapak Rahmat Danu Andika, pemasaran omni channel yang efektif harus bisa memahami perilaku sosial konsumen dan menjawab kebutuhan dengan tepat.

“Banyaknya channel yang digunakan tidak serta merta membuat strategi omni channel efektif. Justru sebaliknya ketika kemudahan seringkali menjadi kunci sukses walaupun channel yang digunakan terbatas.”

Menciptakan pengalaman pelanggan secara efektif dan konsisten menjadi lebih penting dibandingkan memberikan banyak pilihan kepada pelanggan. Proses yang seamless sejak awal hingga transaksi harus selalu diperhatikan.

“Yang tidak kalah penting adalah bagaimana integrasi tersebut juga dibarengi dengan proses yang sangat mulus (seamless). Alih-alih terintegrasi namun justru menjadikannya lebih rumit,” kata Rahmat.

Hal senada diungkapkan CEO & Co-Founder SociaBuzz Rade Tampubolon. Ia menyebutkan, perlu diciptakan integrated & seamless customer experience. Oleh karena itu yang paling penting adalah pemahaman mendalam tentang target konsumen terlebih dahulu. Seperti apa perilaku mereka, ekspektasi dan lainnya. Lalu setelah itu bangun strategi pemasaran yang integrated di atas fondasi pemahaman konsumen tersebut.

“Omni channel bukan berarti kita harus menggunakan semua channel pemasaran. Namun menggunakan channel yang relevan dengan consumer journey. Experience yang didapat konsumen harus sama, mulai dari looks, feels, tonality, promises, convenience,” kata Rade.

Rade menambahkan, jika bisnis tersebut mengalami keterbatasan sumber daya, tidak wajib menjalankan semua. Fokus satu channel saja namun dengan eksekusi yang tepat.

“Seperti misalnya banyak online shop saat ini yang fokus hanya menggunakan endorsement dari artis dan selebgram saja, tidak menggunakan channel lain, omsetnya bisa luar biasa. Understanding the customer is key, dan kedua fokus tapi all out.”

Di sisi lain, kunci pemasaran omni channel yang ideal adalah aksesibilitas. Hal tersebut, menurut CEO Pomona Benz Budiman, mengharuskan platform omni channel agar lebih kreatif untuk terus mengembangkan entry point dan berada di mana konsumen berada.

“Seperti saat ini, Pomona membuka akses untuk dapat diakses dari aplikasi, mobile browser, dan desktop browser. Jadi para konsumen yang ingin mendapatkan cashback tidak lagi harus memiliki aplikasi. Bisa juga diakses dari mobile browser langsung.”


Meskipun saat ini sisi online mendominasi kegiatan pemasaran, penjualan, dan pembayaran namun pada akhirnya sisi online tidak akan menggantikan offline. Semua kegiatan pemasaran akan memberikan hasil yang baik jika bisa menggabungkan kemudahan yang ditawarkan secara online dengan proses direct yang ditawarkan secara offline. Penggabungan ini juga dikenal dengan istilah webrooming (online) dan showrooming (offline).

Menurut Marketeers, kedua skenario tersebut merupakan skenario pembelian di era digital pada umumnya. Keduanya menandakan bahwa customer path di era sekarang tidak lepas dari kanal offline dan online konsumen pindah dari satu kanal ke kanal yang lain, baik online maupun offline.

“Online to offline akan memadukan pengalaman belanja offline dengan kemudahan yang dihadirkan teknologi. Sehingga, ya, online to offline akan menjadi sangat relevan dengan kebutuhan konsumen saat ini,” kata Rahmat.

Pemasar sebaiknya tidak terlalu fokus ke berbagai channel yang harus ditawarkan kepada pelanggan. Lakukan pendekatan dengan cara yang berbeda dan mengedepankan demand dari konsumen.

“Skema O2O menjadi sangat relevan ketika konsumen sudah melihat [produk di toko offline], sudah mengetahui produknya seperti apa, bahannya seperti apa, namun belum ada keputusan membeli. Konsumen bisa melakukan pembelian melalui [segmen] online jika enggan kembali ke toko,” kata Head of Business Alfacart Viendra Primadia.

“Sebagai pemasar, kategori channel (offline/online) menurut saya tidak perlu menjadi fokus utama. Mata kita harus tetap tertuju ke konsumen, bukan ke channel. Karena kalau fokus ke channel, dan bukan ke konsumen, kita bisa kehilangan arah,” kata Rade.

Rade melanjutkan, channel pasti akan terus mengalami perubahan. Lakukan terus pendekatan kepada konsumen, cari tahu seperti apa perilaku dan ekspektasi mereka. Apakah mengalami perubahan, channel apa yang mereka suka, kemudian sesuaikan strategi pemasaran.

Cara tepat mengukur pemasaran omni channel
Tidak dapat dipungkiri salah satu kunci kesuksesan kegiatan pemasaran adalah dengan menerapkan strategi omni channel. Namun demikian cara untuk mengukur hasil tersebut harus disesuaikan dengan tujuan kegiatan pemasaran yang dilakukan, apakah untuk meningkatkan penjualan, brand awareness, akuisisi pengguna, dan lainnya.

“Selama masing-masing bisnis sudah menentukan north star metric mereka, hal selanjutnya yang bisa dilakukan, tinggal diukur pemasaran apa yang efektif untuk meningkatkan metric tersebut,” kata Rade.

Dalam hal ini, menurut Benz, measurability dan accessibility menjadi ukuran kesuksesan yang memungkinkan pemasaran apapun yang dilakukan jadi lebih terukur dan bisa dikorelasikan dengan ROI masing-masing perusahaan. Jika tahapannya masih membangun brand, awareness adalah metric yang diusahakan.

“Aksesibilitas juga menjadi konsentrasi utama strategi pemasaran omni channel. Semakin kita mempermudah konsumen untuk mengakses dan memakai produk kita, disanalah definisi sesungguhnya dari teknologi omni channel yang mempermudah hidup manusia.”

Sementara itu, menurut Rahmat, ketika kegiatan pemasaran sudah banyak diadopsi masyarakat, hal tersebut juga bisa menjadi pengukur kesuksesan kegiatan pemasaran memanfaatkan omni channel.

“Secara sederhana pertumbuhan transaksi yang terdigitalisasi Itu menunjukkan kemudahan yang dihadirkan pemasaran omni channel telah diadopsi lebih banyak masyarakat yang merasakan kemudahan dan pengalaman yang baik,” kata Rahmat.

Hal senada juga diungkapkan Viendra yang menyebutkan kesuksesan bisa dilihat dari kepuasan konsumen dalam memperoleh experience yang sama baik online maupun offline dan sebagai bisnis tentunya hal tersebut tercermin dengan peningkatan volume penjualan,

“Dengan omni channel, yang tidak terpenuhi di offline bisa dilakukan melalui online, begitupun sebaliknya. Hal tersebut mampu untuk mengurangi tingkat pembatalan pemesanan,” tutup Viendra.
Laporan terbaru eIQ bertajuk “Uncovering the Value of Indonesia’s Top Online Platforms” mencoba menggambarkan kondisi terkini dari lanskap e-commerce dan online marketplace di Indonesia. Mengawali laporannya, ecommerceIQ mendaftar 6 platform teratas, didasarkan pada tingkat frekuensi kunjungan dan peringkat aplikasi di Play Store.

Memvalidasi popularitas keenam pemain di atas, survei menanyakan kepada 1240 responden penikmat online shopping seputar beberapa faktor penilaian terhadap platform belanja online, mulai dari reputasi, perbandingan harga, hingga layanan logistik.

Dari temuan tersebut maka dapat dipetakan pola-pola yang menjadi karakteristik masing-masing penyedia layanan.

(1) Kategori C2C dan B2C semakin melebur

Daftar 6 pemain teratas kebetulan memiliki porsi yang imbang antara kategori C2C (Consumer-to-Consumer): Bukalapak, Shopee, Tokopedia; dan B2C (Business-to-Consumer): Blibli, Jd.id, Lazada. Dari penilaian reputasi, masing-masing memiliki angka yang cukup berimbang, Blibli dan Tokopedia mendapati angka tertinggi. Penilaian terhadap reputasi umumnya didasarkan pada kepercayaan konsumen yang terbentuk dari beberapa faktor, di antaranya jaminan produk, kualitas layanan, hingga efektivitas sistem yang disajikan.

JD.id dan Shopee adalah pemain yang paling baru, keduanya memiliki cara berbeda untuk berbaur dalam persaingan dengan top-players yang ada. Shopee misalnya, dengan nilai investasi besar yang didapat dari perusahaan induk –Sea (dulunya Garena)—mereka memanjakan konsumen dengan beragam diskon produk. Dari tabel penilaian di atas, Shopee memiliki peringkat teratas dalam urusan produk murah dan biaya pengiriman gratis. Sedangkan JD.id menguatkan brand dengan jaminan produk jualannya asli.

Meleburnya kategori C2B dan B2C juga ditengarai hadirnya “Official Store” di online marketplace –sebagai contoh brand tertentu memiliki tempat khusus di Bukalapak untuk menjual produk dari distributor resminya. Implikasinya justru menguatkan SKU produk yang dimiliki C2C, hal tersebut sekaligus tervalidasi dalam penilaian kelengkapan produk dengan persentase tertinggi didapat oleh Tokopedia.

Namun demikian salah satu keuntungan yang dapat dioptimalkan oleh para pemain B2C ialah seputar pengalaman pelanggan. Beberapa aspek yang mulai dieksplorasi misalnya menekankan pada kualitas produk, peningkatan layanan logistik –misalnya Lazada mengakomodasi layanan eLogistics secara mandiri atau bekerja sama dengan layanan on-demand untuk one-day-delivery, opsi pembayaran yang lebih beragam –memungkinkan adanya mekanisme seperti cash-on-delivery.

(2) Produk elektronik dan fesyen menjadi komoditas utama

Persentase tertinggi yang dihimpun dari responden survei menyatakan produk elektronik dan fesyen menjadi komoditas yang paling banyak. Dua kategori produk tersebut hampir merata kuat di platform e-commerce yang ada di Indonesia. Menyusul namun belum begitu signifikan ialah bahan kebutuhan sehari-hari.

Untuk kategori fesyen, Shopee menjadi pemimpin. Yang menarik justru di kategori elektronik, layanan B2C lebih tinggi persentasenya –dalam hal ini Bukalapak dan Tokopedia. Sebelumnya banyak yang mengasumsikan secara kasat mata bahwa untuk pembelian barang-barang elektronik tendensi orang akan memilih produk B2C untuk jaminan kualitas. Blibli dan JD.id idealnya dapat mengeksplorasi lebih mendalam untuk kategori kebutuhan sehari-hari. Tren pembelian produk tersebut meningkat melalui e-commerce lantaran dukungan berbagai faktor, termasuk yang paling signifikan ialah logistik.

Tak kalah penting soal rata-rata pengeluaran untuk berbelanja secara online. Sebagian besar responden menjawab di angka Rp100.000 hingga Rp500.000. Mengindikasikan persentase terbesar komoditas produk yang paling sering dibeli dengan rentang harga tersebut –sehingga jika dihubungkan dengan data sebelumnya kategori fesyen paling masuk akal menjadi komoditas terbesar e-commerce di Indonesia saat ini.

(3) Logistik masih menjadi isu utama efektivitas e-commerce

Terdapat beberapa hal yang dikeluhkan oleh responden saat menggunakan platform e-commerce. Pertama soal waktu pengiriman yang sering kali lama. Sebenarnya untuk proses pengiriman tidak sepenuhnya dikontrol oleh penyedia platform e-commerce, melainkan pihak ketiga yang dipilih konsumen. Hanya saja mau tidak mau logistik memang menjadi salah satu dari bagian sistem terpenting dari jual beli online. Isu lain cukup merata, hanya saja ada permasalahan tentang pengalaman pengguna untuk platform Bukalapak dan permasalahan harga barang yang terlampau mahal di Blibli –dengan persentase tertinggi.

Kematangan dalam menggunakan layanan belanja online justru terlihat pada data di atas. Proses pembayaran tidak lagi menjadi isu yang signifikan di setiap platform yang ada. Persentase terbesar masih berada pada opsi transfer bank. Namun yang menarik opsi COD cukup mencolok untuk JD.id dan Lazada, lan

(4) Tren penggunaan e-commerce berdasarkan gender

Beda jenis kelamin umumnya akan memiliki kecenderungan yang berbeda. Hal tersebut turut ditunjukkan pada opsi yang diberikan responden dalam pemilihan layanan e-commerce. Grafik di bawah ini menggambarkan perbandingan untuk peminat di masing-masing platform berdasarkan gender.

Data di atas tentu didukung dengan ulasan selanjutnya, yakni soal kebutuhan yang banyak dicari. Shopee lebih banyak digunakan oleh pengguna perempuan, hal tersebut berkorelasi dengan kategori produk yang banyak dicari perempuan ialah seputar kecantikan. Sementara untuk produk kebutuhan sehari-hari pengguna laki-laki yang lebih banyak memiliki kecenderungan untuk melakukan pembelian secara online.

Grafik kategori di atas cukup relevan dengan pengalaman belanja yang diharapkan. Contohnya otomotif, didominasi oleh konsumen perempuan, pasalnya konsumen laki-laki memiliki kecenderungan lebih suka memanjakan diri  dengan produk otomotif secara langsung di bengkel, dan sebagainya.
Bersama dengan produk elektronik, barang-barang fashion memiliki tempat istimewa bagi mereka penggemar belanja online. Hal tersebut dibuktikan dengan makin banyaknya layanan fashion commerce lokal dan asing yang merambah tanah air. Pembuatan barang-barang merk sendiri, atau yang lebih kenal sebagai private label, dan pendekatan skema O2O (online-to-offline) disebut menjadi kunci mendominasi pasar ini.

Jika awalnya fokus utama layanan fashion commerce adalah menyediakan pilihan produk beragam dari merchant, seiring dengan perubahan pola konsumsi pelanggan dan makin maraknya kehadiran toko online yang memanfaatkan media sosial, secara perlahan layanan fashion commerce mulai beradaptasi dan mulai menghadirkan inovasi baru.

Private label dan pengalaman offline

Didominasi pembeli dari kalangan perempuan, layanan fashion commerce mulai menghadirkan private label dengan desain dan produksi yang dimonitor langsung oleh tim internal.

Mulai dari skema O2O (online-to-offline) dengan mendirikan toko permanen di mall hingga menggelar berbagai kegiatan pop up store, dari sisi pertumbuhan,

Layanan fashion commerce yang mampu menerapkan skema O2O (online-to-offline), misalnya pop up store atau mendirikan toko permanen, disebut memiliki peluang untuk mendapatkan data yang lebih kaya berdasarkan interaksi langsung dengan pelanggan.

“Skema O2O di dunia fashion commerce sudah mulai terlihat menunjukkan peluang yang positif. Saya melihat sekarang dan ke depannya, skema ini bakal banyak diterapkan oleh layanan fashion commerce di Indonesia,” kata Pemerhati e-commerce dan CEO Adsvokat Daniel Tumiwa kepada DailySocial.

Kegiatan offline disebut mampu memberikan efek seimbang untuk pertumbuhan bisnis. Hal tersebut sudah diterapkan Berrybenka dengan kegiatan pop up store dan mendirikan toko permanen. Demikian juga dengan Muslimarket yang memanfaatkan brand Suqma.

Kehadiran toko fisik dianggap mampu memecahkan masalah seperti kepuasan pelanggan untuk menyentuh dan mencoba langsung produk yang ingin mereka beli.

Berbeda dengan Berrybenka, Sale Stock memberikan alternatif baru dengan opsi mencoba langsung melalui fitur “Coba Dulu Baru Bayar”. Pembeli diberikan waktu untuk mencoba, jika puas barang bisa langsung diambil, namun jika tidak puas saat itu juga bisa dititipkan ke kurir untuk ditukar atau dikembalikan.

Seorang pelanggan Sale Stock, sebut saja Ani, mengungkapkan cara ini ampuh memberikan pilihan baru ke pelanggan saat membeli produk fesyen favorit.

Konsolidasi dan akuisisi

Awal bulan ini, layanan agregator fesyen Lyke mengumumkan penutupan layanan dan mengalihkan seluruh karyawannya ke layanan e-commerce  Tiongkok Jollychic. Jollychic pertama kali hadir di Tiongkok pada 2014 dan mulai mengembangkan sayap ke Indonesia tahun lalu.

Kepada DailySocial, CEO Lyke Bastian Purrer mengungkapkan, penjualan Lyke kepada Jollychic dilakukan demi membangun layanan e-commerce yang lebih besar dengan melakukan sinergi antar dua perusahaan. Diklaim layanan ini sempat memiliki 1,6 juta pengguna, bermitra dengan 300 toko, dan memiliki 150 ribu pilihan produk.

“Saya percaya pasar fesyen online di Indonesia masih besar peluangnya. Dengan kolaborasi bersama Jollychic saya yakin kita bisa mengatasi semua tantangan yang ada. Sejauh ini masih banyak orang yang melakukan pembelian fesyen secara offline atau melalui media sosial dengan rendahnya penetrasi layanan e-commerce di Indonesia,” kata Bastian.

Untuk melancarkan ekspansinya, marketplace fesyen Muslim Hijup juga telah mengakuisisi Haute-Elan, platform marketplace modest fashion terbesar di Inggris Raya. Pasca akuisisi ini, mereka meluncurkan Hijup UK Limited yang menjadi langkah pertama Hijup go global.

Konsolidasi, merger, dan akuisisi antar layanan fashion commerce, disebutkan Daniel, bakal banyak terjadi ke depannya, terutama bagi layanan fesyen yang skalanya kecil hingga menengah ke atas. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis, ekspansi, sekaligus menyokong pendanaan dan melancarkan strategi pemasaran yang memiliki peranan penting di sektor ini.

“Contohnya adalah Sale Stock, yang sejak pendanaan terakhir fokus kepada kegiatan pemasaran dengan promosi di televisi secara masif. Hal tersebut membuktikan, branding masih menjadi langkah strategis yang dilakukan oleh layanan fashion commerce,” kata Daniel.
Tingginya jumlah kunjungan, tidak akan berarti apa-apa bila pengunjung tidak menjadi pelanggan. Untuk itu penting mencari tahu bagaimana mengonversinya. Pernahkan Anda sadari bahwa sebanyak 69% pembeli online meninggalkan keranjang belanja mereka di tengah jalan sebelum menyelesaikan pembelian?

Sebagai pemilik bisnis e-commerce, Anda tahu persis bagaimana usaha yang diperlukan untuk mendatangkan traffic ke situs. Tapi semua usaha Anda akan sia-sia jika pengunjung tidak menyelesaikan pembelian mereka.

Untuk mencari tahu penyebabnya, Anda tidak sepenuhnya menyalahkan produk yang dijual di situs e-commerce Anda. Kemungkinan Anda melakukan kesalahan minor pada situs web Anda, yang menyebabkan pengunjung pergi begitu saja.

Ada kesalahan lainnya yang menyebabkan gagalnya konversi pengunjung menjadi pembeli, ada apa saja? Artikel berikut akan membahas lebih detail tentang hal tersebut, berikut rangkumannya:

1. Memaksa buat akun

Dalam sebuah situs yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di Denmark, menunjukkan sebanyak 37% konsumen meninggalkan keranjang belanja mereka karena wajib membuat akun sebelum bertransaksi. Meski Anda memang memerlukan data pengguna untuk dijadikan sebagai aset, tapi dengan cara memaksa akan membuat pengunjung jadi tidak berminat. Untuk itu solusinya, pastikan situs Anda mendukung pembelian sebagai tamu, tanpa harus mendaftar.

2. Formulir yang bertele-tele

Tidak ada yang lebih menjengkelkan dari keharusan mengisi kolom informasi sebelum menyelesaikan proses pembelian. Sebagai pelanggan, begitu mereka memutuskan untuk membeli sesuatu, mereka secara psikologis hanya ingin proses yang simpel. Untuk itu, buatlah formulir pendaftaran yang singkat dan simpel agar pengunjung dapat dengan mudah mengisi data yang dibutuhkan.

Begitu pun saat melakukan checkout, harus dibuat singkat. Menurut sumber riset yang sama, sebanyak 28% konsumen tidak menyelesaikan proses checkout lantaran mereka merasa frustrasi dengan prosesnya yang panjang. Sebaiknya, buat halaman checkout dalam satu halaman saja dan tidak memberi gimmick berisi rekomendasi produk tambahan untuk dibeli.

3. Kurang testimoni

Testimoni dan ulasan pembeli adalah langkah yang dapat membantu Anda membangun kredibilitas bisnis, baik di mata pembeli maupun mitra bisnis. Ketika seseorang melihat orang lain telah memberi produk dari situs e-commerce Anda dan menemukan produk Anda layak untuk dibeli, maka testimoni ini akan memberi pengaruh kepada calon pembeli lainnya.

Kebanyakan orang skeptis tentang pembelian dari nama asing. Jadi, jika Anda tidak menampilkan testimoni pelanggan dan ulasan dari mereka, maka konversi Anda akan gagal.

4. Tidak menyebutkan jaminan keamanan transaksi

Anda mungkin memiliki proses otorisasi pembayaran yang sudah dijamin keamanannya sesuai dengan standar yang berlaku. Namun apabila Anda lupa menyebutnya dengan jelas di halaman checkout Anda, berarti Anda berisiko besar telah mengusir pelanggan.

Sebab pada dasarnya, pelanggan perlu merasa yakin bahwa pembayaran mereka akan ditangani dengan aman. Penyebutan sederhana tentang pembayaran keamanan sebenarnya sangat membantu pelanggan dapat meyakinkan mereka bahwa tidak ada permainan kotor dalam situs Anda.

5. Situs tidak mobile friendly

Menurut Statista, sebanyak 23% semua pembelian di situs e-commerce dilakukan dengan menggunakan perangkat mobile. Jadi, jika situs web Anda tidak dioptimalkan untuk pengguna mobile, maka bisa jadi Anda kehilangan sebagian besar dari konversi Anda.

Untuk itu pastikan konten dan gambar situs web Anda telah dioptimalkan untuk perangkat seluler. Juga sediakan opsi untuk menyimpan produk di keranjang untuk konsumen yang lebih memilih ingin menyelesaikan pembelian mereka dari PC.
Dalam laporan yang ditulis Bain & Company terungkap, pertumbuhan konsumen layanan e-commerce di Asia Tenggara pada tahun 2016 lalu mencapai hingga 50% dengan total konsumen mencapai 200 juta orang. Besarnya minat pasar membeli dan melakukan transaksi layanan e-commerce disebutkan dalam laporan tersebut sebagai pasar yang “hiperaktif” untuk kawasan Asia Tenggara.

Di Indonesia sendiri tercatat rata-rata sekitar 5,1 orang memanfaatkan platform layanan e-commerce per tahunnya. Sementara untuk pilihan pembayaran paling banyak dimanfaatkan adalah pilihan Cash on Delivery (COD).

Makin besarnya jumlah pengguna low cost smartphone di kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) menjadi salah satu faktor pendukung, mengapa layanan e-commerce, on-demand platform dan lainnya, menjadi favorit di gunakan setiap hari. Di Indonesia sendiri saat ini dikenal sebagai “mobile first country” di mana smartphone menjadi gadget rutin yang digunakan untuk bekerja, belanja hingga mencari hiburan.

Pertumbuhan layanan OTA di Asia Tenggara



Hal menarik lain yang juga disampaikan dalam laporan tersebut adalah, layanan terbesar yang paling banyak dimanfaatkan oleh konsumen di Asia Tenggara adalah, layanan pariwisata dan perjalanan wisata ($22 miliar), diikuti dengan layanan e-commerce ($15 miliar) dan media serta hiburan ($3 miliar), advertising ($2 miliar), transportasi ($2 miliar) dan yang terakhir adalah gaming ($2 miliar), disusul dengan social/messaging ($0,2 miliar).

Terkait dengan makin meningkatnya pertumbuhan layanan travel dan turisme, di Indonesia selama tahun 2017 masih didominasi oleh Traveloka yang kini dikabarkan bervaluasi lebih dari $2 miliar dan menjadikannya startup unicorn pertama di industri travel online Indonesia. Sebelumnya pada bulan Juli 2017, Expedia mengumumkan investasinya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dengan mengambil saham minoritas di Traveloka senilai $350 juta (lebih dari 4,6 triliun Rupiah). Nilai valuasinya di Indonesia hanya kalah dari Go-Jek yang disebutkan mencapai $3 miliar pasca perolehan pendanaan dari Tencent.

Bukan hanya menjual kamar hotel, tiket pesawat, kereta api dan lainnya, kini Traveloka juga mulai menjual paket wisata. Layanan yang dinamai Aktivitas & Rekreasi ini memberikan kesempatan pengguna Traveloka membeli tiket tempat wisata di genggaman mereka, baik melalui web maupun melalui aplikasi.

Perusahaan lainnya yang mencoba untuk menjadi kompetisi Traveloka di Indonesia adalah Tiket, yang setelah diakuisisi Blibli makin gencar menjalankan kegiatan pemasaran, akuisisi pengguna, penjualan hingga menghadirkan fitur dan penawaran menarik lainnya.

Kebangkitan social commerce

Sementara itu, pembelian memanfaatkan media sosial juga mulai dilirik oleh konsumen di Asia Tenggara meskipun jumlahnya masih tergolong kecil. Dari data yang tercatat saat ini, negara seperti Thailand hingga Indonesia sudah mulai banyak yang memanfaatkan media sosial (Facebook, Instagram). Bukan hanya untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga, media sosial saat ini sudah banyak digunakan untuk menjual barang hingga layanan, memanfaatkan fitur “Shop” yang sengaja dihadirkan oleh masing-masing platform.

Platform tersebut diklaim juga memiliki data yang bisa dimanfaatkan oleh brand untuk melihat consumer behaviour mulai dari awal transaksi hingga pembayaran. Sehingga untuk kegiatan pemasaran selanjutnya bisa ditargetkan promo dan informasi terbaru yang lebih relevan. Aplikasi Chat dan Messenger saat ini juga makin banyak dimanfaatkan untuk melancarkan bisnis.

Pendekatan “agile” agar bisnis sukses di Asia Tenggara

Hal menarik yang terungkap dalam laporan tersebut adalah industri e-commerce di kawasan Asia Tenggara kerap berubah dan harus bisa mengadopsi inovasi baru dengan cepat. Pendekatan yang “agile” atau kemampuan untuk bisa bergerak dengan cepat selancar mungkin, merupakan mindset yang harus dimiliki oleh startup.

Selain itu berinvestasi di teknologi juga merupakan salah satu kunci sukses bagi startup bisa menjalankan bisnis secara sustainable di kawasan Asia Tenggara. Hal lain yang perlu dicermati adalah startegi yang harus dimiliki agar bisa tampil lebih unggul dari kompetitor dan terus berevolusi dalam lanskap digital.
Di Indonesia bisnis e-commerce merupakan salah satu bisnis digital yang tumbuh subur. Tidak hanya konsumennya tetapi juga persaingannya. Persaingannya terus tumbuh dan semakin ketat dari tahun ke tahun. Tidak banyak yang akhirnya terpaksa menutup layanan atau pivot ke sektor niche atau layanan yang lain.

Untuk menghindari kegagalan, berikut ini beberapa faktor atau alasan yang menyebabkan sebuah bisnis e-commerce gulung tikar.

Kualitas gambar dan deskripsi produk

Inti dari proses jual beli secara online adalah kepercayaan, sebelum itu untuk membangun kepercayaan butuh yang namanya kejelasan. Permasalahan gambar dan deskripsi produk mungkin dianggap sepele tetapi bagi pembeli itu bisa berpengaruh. Gambar yang bagus di situs e-commerce itu bisa dikatakan setara dengan display yang ada di toko offline. Sebagai sebuah etalase.

Ribetnya kontak informasi

Sebagai sebuah bisnis yang berlandaskan kepercayaan bisnis e-commerce wajib menyediakan kontak informasi. Ini penting untuk mengakomodir para pembeli atau penjual yang membutuhkan informasi atau pun pihak lain yang ingin mengajukan tawaran kerja sama. Ketiadaan kontak untuk mendapatkan informasi bisa menghilangkan respek pengguna dan ujungnya akan ditinggalkan pengguna.

Proses checkout yang berbelit

konsep dasar dari hadirnya layanan e-commerce adalah kemudahan, dalam bentuk apa pun. Itu mengapa jika kita melihat inovasi layanan e-commerce di Indonesia semuanya mengarah ke kemudahan, terutama yang berkaitan dengan proses transaksi. Baik itu metode pembayaran maupun checkout. Jadi bukan menjadi rahasia umum jika berbelitnya proses checkout bisa mempengaruhi pengalaman pengguna dan memberikan kesan negatif.

Menetapkan harga dan target pengguna yang salah

Mengetahui pasar dan pengguna adalah langkah awal sebelum sebuah bisnis benar-benar menjalankan bisnisnya. Dari banyaknya kegagalan dalam bisnis dua hal tersebut sering muncul sebagai alasannya. Untuk segmen e-commerce dua alasan tersebut termasuk di dalamnya, ditambah kesalahan dalam menetapkan harga. Sekali lagi terdengar sepele, tetapi memang sangat berpengaruh, terlebih jika harus bersaing dengan harga-harga kompetitor.

Adopsi ke ranah mobile

Teknologi digital berkembang ke arah mobile. Beranjak dari layar besar ke layar yang lebih kecil. Perkembangan ini yang harus di sesuaikan oleh bisnis e-commerce. Kecenderungan orang menggunakan perangkat mobile untuk berbelanja harus diantisipasi dengan jemput bola, menghadirkan aplikasi mobile. Jika tidak, risikonya jelas ditinggalkan pengguna.
Bisnis marketplace di Indonesia sudah semakin menjamur, baik itu marketplace yang berbasis di Indonesia atau pun marketplace asing yang mencoba peruntungannya dengan masuk ke pasar Indonesia. Dari segi konsep, kebanyakan marketplace terlihat serupa bahkan sama persis. DailySocial mencoba menggali informasi marketplace tanah air tentang keunikan mereka dan bagaimana mereka menghadapi persaingan saat ini.

Tokopedia

Tokopedia secara umum memang sejenis dengan kebanyakan marketplace, namun dari keterangan yang kami terima Tokopedia tengah mengusung misi untuk pemerataan ekonomi secara digital. Untuk mencapainya Tokopedia tidak hanya fokus mengembangkan marketplace tetapi juga mengembangkan fitur untuk kebutuhan sehari-hari, seperti isi ulang pulsa, paket data, air, listrik, membayar BPJS, hingga berdonasi.

Tokopedia seolah ingin menjadikan kedekatan mereka dengan masyarakat sebagai identitas mereka. Selain fitur pembayaran berbagai macam tagihan (yang kemungkinan juga akan ada di marketplace lain), Tokopedia juga fokus untuk membantu produk-produk UKM agar bisa menjangkau pasar yang lebih luas.

Bukalapak

Senada dengan Tokopedia, Bukalapak juga memiliki visi dan misi yang sama untuk membantu UKM-UKM di Indonesia. Dengan memandang kekuatan komunitas dan inovasi sebagai peranan penting dalam pengembangan bisnisnya Bukalapak aktif dalam berbagai kegiatan temu komunitas dan iklan-iklan bernada komunitas.

Untuk keunikan, pihak Bukalapak mengedepankan fitur BukaIklan dan Negosiasi sebagai keunikan mereka. Fitur BukaIklan dan Negosiasi merupakan fitur baru. BukaIklan memungkinkan pengguna Bukalapak dengan mudah mempromosikan barang dagangannya di Facebook Ads dengan lebih sederhana. Hal ini disebut membantu para pelapak yang memang tidak memiliki background teknologi untuk bisa mengoptimalkan promosi barang mereka.

Fitur lain yang disebut sebagai keunikan Bukalapak adalah fitur Negosiasi. Fitur ini memungkinkan pembeli menegosiasikan harga atau menawar barang yang ingin dibeli, tentu dengan batasan jumlah penawaran. Fitur ini sementara ini belum ada di kebanyakan marketplace di Indonesia.

MatahariMall

Sedikit berbeda dengan dua marketplace sebelumnya, Mataharimall memiliki konsep O2O (online-to-offline). MatahariMall mengandalkan mall konvensional dalam jaringannya yang sudah tersebar di beberapa kota besar di Indonesia sebagai channel untuk para pembelinya. Konsep O2O ini sebenarnya juga diusung Alfacart dengan jaringan Alfamart yang sudah tersebar luas di Indonesia. Sementara ini, konsep O2O ini tidak lantas membuat keduanya menjadi pemimpin pasar Indonesia.

Shopee

Sementara itu Shopee, yang lebih condong ke arah mobile marketplace, menyebutkan bahwa kecepatan dan mobilitas layanan menjadi salah satu fitur yang membedakan Shopee dengan yang lain. Di dalamnya disematkan fitur-fitur khas media sosial, seperti chat dan tagar, untuk menandai produk dan memudahkan pencarian produk.

Bisa disimpulkan ada beberapa jenis pendekatan yang dilakukan bisnis marketplace di Indonesia. Lazimnya jika mereka berangkat dari perusahaan digital, pendekatan ke pengguna dan penjual menjadi poin utama. Entah itu bekerja sama dengan komunitas, pemerintah, dan lembaga-lembaga lain. Selanjutnya untuk menarik minat pembeli, memperkaya fitur pembayaran adalah hal mutlak, termasuk pembayaran offline yang bermitra dengan gerai-gerai minimarket.

Sementara marketplace yang berangkat dari perusahaan konvensional cenderung berusaha mengoptimalkan keuntungan toko offline mereka. Meskipun demikian, inovasi pembayaran dan pengiriman tetap menjadi hal wajib untuk diperhatikan.
Proses validasi pasar dan bisnis telah dilewati. Key Performance Indicator (KPI) yang telah ditentukan di tahap awal sudah berhasil dicapai, dan sekarang pengembangan bisnis mulai menggunakan KPI baru yang berbasis pada pertumbuhan konsumen, revenue, market traction, dan market share, bersamaan dengan pengembangan kualitas produk. Bila belakangan ini Anda tidak asing dengan kegiatan-kegiatan yang disebutkan tadi, itu menandakan bisnis Anda memasuki tahap scaling dan ekspansi.

Upaya-upaya dari kacamata bisnis ini jelas perlu dilakukan, dan sebaiknya langkah tersebut juga senada baiknya dengan penguatan dari sisi teknologi penyimpanan dan penyebaran data yang terintegrasi dan dapat diandalkan, seperti cloud computing. Mengapa?

Begini. Dari sisi Platform as a Service (PaaS), perlu disadari bahwa bisnis online Anda memerlukan cloud solution yang elastis bagi bisnis Anda yang dinamis itu, guna dapat merasakan fasilitas cloud sesuai dengan skala terkininya. Terlebih, poin ini menjadi penting bila Anda sekarang tengah menggeluti bidang e-commerce yang dikenal memiliki lonjakan dan anjlokan traffic yang sering menghampiri situs.

Belum lagi, proses scaling yang banyak bertumpu pada pengambilan keputusan yang cepat dan terukur, membuat Anda mungkin memerlukan cloudservice dengan insight real-time dari setiap transaksi hingga proses bisnis secara umum.

Microsoft punya solusi terpadu agar proses scaling up bisnis online Anda dapat berjalan sesuai rencana, yakni melalui Microsoft Cloud Solution.

Microsoft Cloud Solution dengan cabang-cabang solusinya dapat membantu Anda menjawab tantangan-tantangan bisnis Anda di tengah usaha optimalisasi kualitas produk bisnis Anda, dalam proses scaling. Misal, Microsoft Azure, yakni solusi cloud computing platform buatan Microsoft yang dikenal dapat menangani lonjakan traffic yang tidak terduga serta integrasi dengan aplikasi yang dikembangkan. Begitu pula dengan Microsoft Power Business Intelligence, analytic tools garapan Microsoft yang membantu pengguna memadukan sistem yang dibangun dengan aplikasi analisis data, sehingga Anda dapat dengan mudah ‘menampung’ limpahan data tersebut dan mempresentasikannya di kemudian hari.

Lantas, bagaimana solusi cloud seperti itu dapat memaksimalkan serta mempercepat laju pertumbuhan bisnis online Anda secara konkret? Bagaimana implementasi yang tepat di sektor e-commerce (atau bahkan di sektor pengembangan Internet of Things)?

Semua pertanyaan tersebut akan dibahas tuntas bersama empat pelaku industri digital yang tentunya telah mengalami kisah sukses dari pengembangan bisnis online dengan cloud computing, antara lain ialah Lodewijk Christoffel Tanamal (Chief Technology Officer Bhinneka.com), Rudy Sumadi (SMB Director Microsoft Indonesia), Andri Yadi (CEO DyCode), dan Wiku Baskoro (Chief Innovation Officer DailySocial), di sebuah talkshow bertajuk “Optimize/Accelerate Your Online Business With Microsoft Cloud Solution”.

Bersama Lodewijk (baca: Ludwig), Anda akan mendengarkan bagaimana cloud computing menjadi salah satu urat nadi dari bisnis e-commerce. Kemudian, Rudy akan membeberkan alasan mengapa Anda perlu mengadopsi sistem cloud dari Microsoft. Lalu Andri akan bercerita panjang lebar mengenai Microsoft Azure yang sukses membantu bisnis Internet of Things-nya bersama DyCode. Ketiganya akan berbincang bersama di satu panggung, dimoderatori oleh Wiku.

Bertempat di Lot 8 Resto & Bar, SCBD, Jakarta Selatan, talkshow hasil kerja sama Bhinneka.com, DailySocial.id, dan Microsoft ini akan digelar pada hari Rabu, 7 Desember 2016, pukul 18.00 sampai dengan selesai.

Selain pembahasan dan insight yang seru dari para pakar, para peserta juga akan mendapatkan paket goodie bag keren dari penyelenggaraan acara. Dengan pendaftaran acara yang dibuka gratis, rasanya sayang bila Anda melewatkan talkshow untuk para online business owner dan tech enthusiast ini.

Jadi, Anda siap untuk melebarkan sayap bisnis online Anda dengan cloud computing?